Coronavirus Disease (Covid-19) memukul hampir seluruh sendi kehidupan, termasuk bisnis. Banyak di antara mereka mencoba bertahan hidup untuk kemudian kembali berkembang dengan berbagai upaya.
Hal itu dibahas dalam Webinar Series Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) bertema “From Surviving to Thriving: Business After Covid-19”.
Webinar ini menghadirkan mantan Wakil Presiden Indonesia Dr (HC) Drs H Muhammad Jusuf Kalla sebagai keynote speaker.
Jusuf Kalla menggambarkan dampak pandemi Covid-19 berbeda dengan dampak Krisis Moneter di Indonesia 1998 lalu.
Krisis Moneter 1998 hanya terjadi di beberapa negara. Yakni Indonesia, Thailand, dan Korea. Malaysa saat itu ikut terimbas, namun sedikit. Itupun segera bisa diatasi. Namun Covid-19 melanda hampir seluruh negara di dunia. Jadi, ketika dulu Indonesia meminta bantuan pada IMF, Jepang, atau negara-egara Eropa, kini tidak bisa.
“Sehingga timbul suatu kemandirian bangsa. Itu yang harus dijaga. Kita pasti bisa,” ujar Jusuf Kalla dalam Webinar Series SBM ITB, From Surviving to Thriving: Business After Covid-19, Sabtu (11/7/2020).
Selain itu terdapat empat pembicara dalam webinar tersebut. Yaitu Hermawan Kartajaya, Founder & Chairman Martplus; Irianto Santoso, CEO Dharma Group; Suyanto Tjoeng, CEO Anteraja; Nurhayati Subakat, Komisaris Utama PT Paragon Technology and Innovation.
CEO Dharma Group, Irianto Santoso menggambarkan bagaimana Covid-19 memukul industri otomotif Tanah Air. GDP otomotif di quarter 4 (Q4) 2019 sebesar 4,2persen, turun menjadi 1,6 persen di Q1-2020.
Permintaan kendaraan pun mengalami penurunan tajam. Pada April-Mei 2020, penurunannya lebih dari 90 persen untuk mobil dan 76 persen untuk motor. Hal ini disebabkan berbagai hal, terutama penurunan daya beli. Dengan kondisi seperti ini, recovery industri otomotif diperkirakan membutuhkan waktu 4-6 tahun.
Meski demikian, perusahaannnya memiliki kekuatan dalam kompetensi engineering. Pihaknya mendesain dan membuat sendiri mesin yang tidak ditemukan di pasaran. Begitupun dengan komponen yang selama ini diimpor, pihaknya memproduksi sendiri.
“Awalnya karena terjadi masalah supply chain. Tapi itu kami jadikan kesempatan untuk membuatnya di lokal. Ada yang harusnya impor kami buat lokal di fasilitas sendiri dan ada yang dikerjasamakan dengan suplier,” ucap dia.
Sementara itu, Founder and Chairman of Markplus, Hermawan Kertajaya menawarkan model The OMNI House untuk sukses di masa depan. The OMNI House yang ditawarkan terdiri dari CIEL ditambah PIPM.
CI-EL berarti creativity-innovation-enterpreneurship-leadership. Jadi, ide itu harus menghasilkan solusi. Kemudian ada orang yang berani menjalankannya, mengawalnya hingga menjadi value kemudian values.
Lebih detail, Hermawan menjelaskan keempat poin tersebut yakni ide kreatif untuk modal produktif, solusi inovatif untuk peningkatan margin, entrepreneurial value for professional monetization, dan nilai kepemimpinan untuk hasil yang dikelola.
“Ketika berbicara teknologi, maka harus technology for humanity,” tutur dia.
CEO Anteraja, Suyanto Tjoen menggambarkan bisnis logistik di masa pandemi. Ia menceritakan, Anteraja dibangun sebelum Covid-19 dengan menggabungkan dua konsep yakni manual dan ojek online (ojol).
Dalam konsep manual, customer datang ke counter untuk diproses dengan jangkauan yang luas. Sedangkan ojek online, menjemput paket kemudian mengantarkannya ke konsumen dan konsumen mendapat laporan realtime. Namun jangkauan mereka terbatas.
“Anteraja ini menggabungkan keduanya. Konsumen cukup diam di rumah, kami yang jemput paketnya, kemudian barang diantarkan dengan jangkauan yang luas,” tutur dia.
Saat pandemi, sektor ini pun tentu mengalami kendala, apalagi saat PSBB diberlakukan. Sedangkan di era new normal, diberlakukan berbagai kebijakan. Mulai dari pengetatan protokol kesehatan hingga menciptakan berbagai inovasi.
“Kami memperkenalkan smart box technology for pick up and delivery process, sehingga contactless for our costumer,” tutupnya.